Secangkir kopi di malam hari..
Aroma khas, wanginya yang menggugah tak terlupa barang sekejap. Tak sedikit orang mengecam bahwa wanita atau perempuan itu tak baik mengosumsi kopi dalam jumlah yang banyak. Namun bagaimana jika dia sudah menjadi kebiasaan? Tergelitik ingin membahas mengenai kopi lebih dalam dan lebih mendetail, menikmati aroma khas yang sarat makna, mengupas detail kehidupan, menyesap patah demi patah yang mungkin terungkap dalam setiap seduhannya..
Si hitam yang penuh dengan daya pikat ini mengawali kisah legendarisnya di dataran
tinggi Ethiopia sekitar tahun 800. Seorang gembala kambing bernama
Kaldi, mengamati kambing gembalaannya yang gemar memakan sejenis
buah beri yang membuat kambing-kambing tersebut jadi lebih
bersemangat untuk beberapa saat. Ia pun mengamati bahwa setelah
memakan buah beri tersebut, kambing-kambingnya tidak mau
beristirahat maupun tidur pada malam harinya. Kaldi kemudian mencoba
memakan sendiri buah beri tersebut – dan ia pun ternyata mengalami
hal sama.
Cerita pengalaman Kaldi tersiar hingga ke biara
setempat. Para biarawan lantas melakukan percobaan membuat minuman
dari buah beri itu. “Ramuan” yang dihasilkan ternyata mampu membuat
mereka tetap berjaga sehingga tetap dapat menulis maupun berdoa
hingga larut malam. ramuan dari si hitam yang penuh daya pikat yang akhirnya dipanggil dengan nama "kopi" (http://www.kapalapi.co.id/INA/cfe_history.htm)
Kopi
mulai terkenal di Indonesia semanjak tahun 1696 ketika Walikota
Asterdam, Nicholas Witsen memerintahkan komandan pasukan Belanda di
Pantai Malabar, Adrian Van Ommen, untuk membawa biji kopi ke Batavia.
Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di
timur Jatinegara, yang menggunakan tanah pertikelir Kedaung yang kini
lebih dikenal dengan Pondok Kopi. Beberapa waktu kemudian kopi arabika
menyebar ke berbagai daerah di Jawa barat, seperti Bogor, Sukabumi,
Banten dan Priangan, hingga kemudian menyebar ke daerah lain, seperti
Pulau Sumatera, Sulawasi, Bali dan Timor.
Seperti halnya dengan komoditi rempah-rempah yang terkenal di Indonesia, kopi menjadi komoditi dagang yang sangat
diandalkan VOC. Ekspor kopi pertama dilakukan tahun 1711 oleh VOC, dan
dalam tempo 10 tahun ekspor meningkat sampai 60 ton/tahun. Karenanya,
Hindia Belanda menjadi tempat perkebunan pertama di luar Arabia dan
Ethiopia yang membuat VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun
1725 sampai 1780.
Melihat adanya prospek yang menguntungkan, dan dengan alasan untuk mendukung produksi kopi VOC akhirnya berhasil membuat perjanjian yang ternyata "timpang" sebelah denagn penguasa setempat dimana warga pribumi diwajibakan menanam kopi yang nantinya hasil keseluruhan harus diserahkan pada VOC tanpa kecuali. Sistem perdagangan kopi terus berlangsung meskipun kemudian VOC
dibubarkan dan Hindia Belanda diperintah oleh perintah Belanda. Ketika
Hermann Willem Daendels (1762-1818) memerintah, ia membangun jalan dari
ujung bawat jawa sampai ujung timur yakni Anyer-Panarukan. Tujuannya
untuk memudahkan transportasi prajurit Belanda dan surat-menyurat di
tanah Jawa. Alasan lainnya, tentu saja untuk mempercepat biji kopi dari
ujung timur Pulau Jawa mencapai pelabuhan di Batavia, dan selanjutnya
dikapalkan ke Belanda untuk dijual ke Eropa.Lama kelamaan usaha produksi kopi ini benar-benar menuai hasil.
Tanpa memperhatikan kesejahteraan warga pribumi, pihak Belanda mulai melanjutkan produksi dengan mengganti program menjadi culturstelsel. Melalui sistem tanam paksa yang diciptakan
Johannes van den Bosch (1780-1844) ini, rakyat diwajibkan untuk menanam
komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas
tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan
milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan di tanah Jawa dan
Sumatera pada tahun 1840-an. Namun, berkat cultuurstelsel itu Jawa
menjadi pemasok biji kopi terbesar di Eropa. Di antara tahun 1830-1834
produksi kopi arabika di Jawa mencapai 26.600 ton, selang 30 tahun
kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton.
Produksi kopi Jawa mencapai titik puncaknya di abad ke-19 yang pada
tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton. Saat itu, kopi memainkan peranan
yang jauh lebih penting dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai
ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1970 mencapai 25.965.000 gulden,
maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah
mencapai 8.416.000 gulden.
Kejatuhan kopi jawa dimulai ketika serangan penyakit kopi melanda
pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena hama
penyakit kopi yang disebabkan oleh Hemileia Vasatrix. Penyakit
ini membunuh semua tanaman arabika yang tumbuh di dataran rendah. Kopi
arabika yang tersisa hanyalah yang tumbuh di lahan setinggi dari 1.000
meter di atas permukaan laut.
Pudarnya kejayaan kopi jawa ini kemudian diisi oleh kopi arabika asal
Brasil dan Kolombia yang terus merajai hingga sekarang. Meskipun
demikian, sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai di kantong penghasil
kopi di Indonesia, antara lain dataran tinggi Ijen (Jatim), tanah tinggi
Toraja (Sulsel), serta lereng bagian atas pegunungan Bukit Barisan
(Sunatera), seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang (Sumut), serta
dataran tinggi Gayo (Aceh).
Untuk menyikapi serangan hama ganas tersebut, pemerintah Belanda kemudian menanam kopi liberika yang lebih tahan hama. Sayangnya, varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Lantas kopi Robusta
mulai diperkenalkan di Indonesia di awal 1900-an untuk menggantikan
kopi liberika dan arabika yang hancur lantaran hama. Kopi Robusta yang
lebih tahan terhadap hama dianggap sebagai alternatif yang tepat
terutama untuk perkebunan kopi di daerah dataran rendah. Saat ini,
produksi kopi di Indonesia menempati peringkat keempat terbesar di
Dunia. (http://www.kopistory.com/sejarah-kopi)